بسم الله الرحمن الرحيم
Sejarah Tadwin (Pembukuan Ilmu-Ilmu Islam)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang nan mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang sejarah tadwin (pembukuan ilmu-ilmu Islam) dalam beragam disiplin ilmu (Al Qur’an, Akidah, Tajwid, Hadits, Fikih, Tafsir, Ushul Fiqh, Musthalah Hadits, dan pengetahuan Nahwu), semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
1. Penulisan Al Qur'an dan Pembukuannya
Pembukuan Al Qur'an dilakukan dalam tiga tahap:
Tahap pertama, di era Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Pada era Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling banyak dijadikan sandaran adalah hapalan daripada penulisan. Hal itu, lantaran kuatnya hapalan orang-orang Arab, sedikitnya orang nan pandai menulis dan kurangnya sarana-sarana untuk menulis. Oleh lantaran itu, Al Qur'an ketika itu tidak dikumpulkan dalam satu mushaf, apalagi orang nan mendengar suatu ayat langsung menghapalnya alias menulisnya jika mudah, baik di pelepah kurma, sepotong kulit, batu tipis nan lebar, dan pecahan tulang. Ketika itu para penghapal Al Qur'an jumlahnya banyak. Meskipun begitu ada sebagian sahabat yang pandai menulis segera menulisnya. Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhu berkata, “Aku mencatat wahyu di hadapan Rasulullah shallallallahu alaihi wa sallam sedangkan Beliau mendiktekannya. Ketika saya selesai mencatat, maka Beliau bersabda, “Bacakanlah!” Lalu saya membacakannya. Jika ada nan terlewat, maka Beliau mengingatkannya, lampau saya bawa wahyu itu ke tengah-tengah manusia.” (Hr. Thabrani dengan sanad nan para perawinya terpercaya)
Dalam Shahih Bukhari disebutkan dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengirimkan tujuh puluh orang sahabat nan disebut dengan Al Qurra' (para penghapal Al Qur'an), lampau mereka dihadang oleh dua suku Bani Salim, ialah Ri'l dan Dzakwan di sumur Ma'unah, kemudian mereka dibunuh.
Di kalangan sahabat juga banyak nan hapal Al Qur'an, seperti para khalifah nan empat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali), Abdullah bin Mas'ud, Salim maula Abi Hudzaifah, Ubay bin Ka'ab, Mu'adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid ibnus Sakan, dan Abu Darda radhiyallahu 'anhum.
Para sahabat yang menjadi pencatat wahyu ada kurang lebih enam belas sahabat, yaitu: Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Abdullah bin Abis Sarh, Az Zubair bin Al Awam, Al Mughirah bin Syu’bah, Hanzhalah bin Ar Rabi, Amir bin Fuhairah, Yazid bin Abi Sufyan, Khalid bin Walid, Amr bin ‘Ash, dan Tsabit bin Qais radhiyallahu anhum.
Tahap kedua, di era Abu Bakar radhiyallahu 'anhu, ialah pada tahun ke 12 H. Sebab diadakan pengumpulan dan penulisan Al Qur'an adalah lantaran pada perang Yamamah sejumlah besar qari (penghapal Al Qur'an) terbunuh, di antaranya adalah Salim maula Abi Hudzaifah salah seorang di antara beberapa sahabat nan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan umatnya mengambil Al Qur'an darinya. Ketika itu, Abu Bakar memerintahkan agar Al Qur'an dikumpulkan agar tidak hilang. Dalam Shahih Bukhari diterangkan, bahwa Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan Al Qur'an setelah terjadinya perang Yamamah, maka Abu Bakar berdiam diri lantaran wara', tetapi Umar terus mengingatkannya sehingga Allah melapangkan dada Abu Bakar untuk melakukan hal itu, lampau Abu Bakar mengutus seseorang untuk mendatangi Zaid bin Tsabit, lalu Zaid datang kepada Abu Bakar nan ketika itu di dekatnya ada Umar. Abu Bakar pun berbicara kepadanya, "Sesungguhnya engkau adalah seorang pemuda yang cerdas. Kami tidak bersangka jelek kepadamu. Engkau sebelumnya adalah orang yang mencatat wahyu untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka telusurilah Al Qur'an dan kumpulkanlah." Zaid bin Tsabit berkata, "Maka aku menelusuri Al Qur'an; saya mengumpulkannya dari pelepah kurma, batu tipis, dan dari nan tersimpan dalam dada manusia (berupa hapalan). Ketika itu suhuf Al Qur'an ada pada Abu Bakar sampai Allah mewafatkannya, lampau ada pada Umar semasa hidupnya, selanjutnya pada Hafshah binti Umar radhiyallahu 'anhuma.”
Dengan demikian, di zaman Abu Bakar radhiyallahu anhu semua catatan wahyu disalin ke dalam lembaran-lembaran.
Kaum muslim setuju atas tindakan Abu Bakar itu dan mereka menyebut perihal itu sebagai salah satu jasanya, sampai-sampai Ali radhiyallahu 'anhu berkata, "Orang nan paling besar pahalanya dalam perihal mushaf adalah Abu Bakar." Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Abu Bakar, lantaran dia adalah orang nan pertama mengumpulkan Al Qur'an.
Tahap ketiga, di era Utsman bin 'Affan radhiyallahu 'anhu, ialah pada tahun ke 25 H. pembukuan ini disebabkan lantaran adanya perbedaan manusia dalam perihal qiraat (bacaan) mengikuti perbedaan suhuf (lembaran) Al Qur'an nan ada di tangan para sahabat radhiyallahu 'anhum sehingga dikhawatirkan terjadinya fitnah, maka Utsman pun memerintahkan mengumpulkan suhuf-suhuf tersebut ke dalam satu mushaf agar manusia tidak berbeda dan berpecah belah dalam Kitabullah.
Dalam Shahih Bukhari diterangkan, bahwa Hudzaifah bin Al Yaman pernah datang menemui Utsman setelah selesai menaklukkan Armenia dan Azerbaijan. Hudzaifah merasa kaget terhadap perbedaan manusia dalam perihal qiraat, maka Hudzaifah berbicara kepada Utsman, "Susullah umat ini sebelum mereka berbeda sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani." Maka Utsman mengirim seseorang menemui Hafshah dan menyampaikan pesan nan isinya, "Kirimkanlah kepada kami suhuf-suhuf agar kami salin ke dalam beberapa mushaf, kemudian kami akan mengembalikan suhuf itu kepadamu." Maka Hafshah mengirimkannya kepada Utsman. Lalu Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin 'Aash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam agar menyalin suhuf-suhuf ke dalam beberapa mushaf. Utsman juga berbicara kepada tiga orang Quraisy itu, "Jika kalian berbeda dengan Zaid bin Tsabit tentang sesuatu dari Al Qur'an, maka tulislah dengan lisan (bahasa dan dialek) Quraisy, lantaran dia (Al Qur'an) turun dengan lisan mereka." Maka mereka pun melakukannya, sehingga setelah mereka menyalinnya ke dalam beberapa mushaf, maka Utsman mengembalikan suhuf-suhuf itu kepada Hafshah dan mengirimkan ke setiap pelosok satu mushaf yang telah mereka salin serta memerintahkan agar Al Qur'an nan lainnya nan ada dalam setiap lembaran alias mushaf selainnya dibakar.
Tindakan Utsman bin 'Affan ini dilakukan setelah dia berembuk dengan para sahabat radhiyallahu 'anhum.
Mush'ab bin Sa'ad berkata, "Aku mendapati sejumlah besar orang ketika Utsman membakar mushaf-mushaf, lampau perihal itu membikin mereka takjub." Atau dia (Mush'ab) berkata, "Tidak ada seorang pun dari mereka nan mengingkari." Ini adalah termasuk jasa Utsman bin 'Affan radhiyallahu 'anhu nan disepakati kaum muslimin, dan mushaf tersebut menyempurnakan apa nan pernah dikumpulkan Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu.
Perbedaan pembukuan Utsman dengan Abu Bakar adalah, bahwa tujuan pembukuan Al Qur'an di era Abu Bakar adalah untuk membukukan semua Al Qur'an ke dalam satu mushaf agar tidak ada satu pun daripadanya nan lenyap lantaran ketika itu tidak tampak pengaruh dari perbedaan qiraat mereka, sedangkan tujuan pembukuan di era Utsman radhiyallahu 'anhu adalah membukukan semua Al Qur'an dalam satu mushaf agar manusia berkumpul di atas mushaf itu lantaran adanya sesuatu nan dikhawatirkan ketika terjadinya perbedaan qiraat.
Ketika Utsman radhiyallahu anhu mengirimkan mushaf ke berbagai negeri kaum muslimin, Beliau juga menyertakan pula qari (penghafal Al Qur’an) nan pandai untuk membacakannya ke tengah-tengah manusia.
(Lihat Ushul Fit Tafsir hal. 19-22 karya Syaikh M. bin Shalih Al Utsaimin)
2. Pembukuan kitab-kitab Akidah Islam
Dalam hal ini, kami belum mengetahui secara pasti penulis pertama dalam bagian akidah. Di antara rujukan nan bagus nan kami dapati dalam masalah ini adalah yang disebutkan dalam Al Musu’ah Al Aqdiyyah nan diterbitkan oleh situs Ad Durar As Sunniyyah, yang kesimpulannya adalah bahwa penulisan materi akidah sudah dimulai di masa tabiin, dimana Imam Ibnu Syihab Az Zuhri rahimahullah (w. 124 H) telah memulainya, lampau semakin banyak penulisan di pertengahan pertama abad kedua hijriyah sebagaimana nan dilakukan oleh Imam Malik (w. 179 H) dalam Al Muwaththa, dimana beliau mengurutkan hadits-haditsnya dengan bab-bab nan mengenai dengan tauhid, seperti bab iman, bab tauhid, bab ilmu, dsb. Boleh jadi pembuatan bab ini menjadi bibit pertama setiap bab ditulis secara terpisah dalam sebuah risalah.
Jika sesorang berpendapat, bahwa orang nan pertama menulis pengetahuan tauhid dari kalangan Ahli Sunnah adalah Imam Abu Hanifah (w. 150 H), maka bisa juga, meskipun ada juga yang berpendapat, bahwa orang nan pertama menulisnya adalah Imam Malik bin Anas dan bahwa beliau orang nan pertama menulis sebuah risalah tentang hal ini.
Ada pula yang berpendapat, bahwa ketika terjadi tuduhan (perselisihan), maka Al Manshur menyuruh menulis buku-buku untuk menyingkirkan tuduhan itu dan membantahnya. Hal ini sebagaimana sahih bahwa Imam Ibnu Wahb (w. 197 H) telah menulis tentang takdir mengikuti metode para muhaddits dalam mengumpulkan hadits-hadits meskipun tidak dibuatkan bab.
Setelahnya kita juga dapat memandang para ustadz menulis kitab-kitab akidah, misalnya kitab As Sunnah yang ditulis oleh Ibnu Abi Syaibah (w. 235 H), juga dengan nama nan sama (As Sunnah) nan ditulis oleh Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Ibnu Abi Ashim (w. 287 H), Al Khallal (w. 311 H), Ahmad bin Al Furat Abu Mas’ud Ar Raazi (w. 258 H), Ibnul Qasim -kawan Imam Malik- (w. 191 H), Muhammad bin Salam Al Bikandiy (w. 225 H), Al Atsram (w. 273 H), Harb bin Ismail Al Kirmaniy (w. 280 H), Ibnu Abi Hatim (327 H), Ibnu Abid Dunya (w. 281 H), Ibnu Jarir Ath Thabari (w. 310 H), Thabrani (360 H), Abusy Syaikh Al Ashbahani (369 H), Abul Qasim Al Laalika’i (w. 418 H), Muhammad bin Nashr Al Marwaziy (ww. 294 H), Abu Ahmad Al ‘Assal Al Ashbahani (w. 349 H), Ya’qub Al Fasawiy (w. 277 H), Al Qashshab (w. 360 H), Hanbal bin Ishhaq (273 H), dan As Sunnah karya Al Barbahariy (w. 329 H).
Ada juga Al Iman karya Ibnu Abi Syaibah (w. 235 H), Abu Ubaid Al Qasim bin Sallam (w. 224 H), Ibnu Mandah (w. 395 H), dan Al Iman karya Al ‘Adaniy (w. 243 H).
Demikian juga ada kitab ‘Aqidatus Salaf Ashabil Hadits karya Ash Shabuni (w. 449 H), Al Ibanah karya Ibnu Baththah (w. 387 H), At Tauhid karya Ibnu Khuzaimah (w. 311 H) dan karya Ibnu Mandah (w. 395 H), Syarhus Sunnah karya Al Muzzanniy -kawan Imam Syafi’i- (w. 264 H), Syarh Madzahib Ahlissunnah karya Ibnu Syahin (w. 385 H), Ushulus Sunnah karya Abu Abdillah ibnu Abi Zamanain (w. 399 H) dan karya Abu Bakar Abdullah bin Az Zubair Al Humaidiy (w. 219 H), Asy Syari’ah karya Al Ajurriy (w. 360 H), I’tiqad Ahlis Sunnah karya Abu Bakar Al Isma’iliy (371 H).
Ada pula Ar Ru’yah, Ash Shifat, dan An Nuzul karya Daruquthni (w. 385 H), dan kitab Jawab Ahli Dimasyq fish Shifat karya Al Khathib Al Baghdadiy (w. 463 H).
Demikian pula ada kitab Al ‘Arsy karya Muhammad bin Abi Syaibah, Al Qadar karya Ibnu Wahb dan karya Abu Dawud (w. 275 H), dan Al Ushul karya Abu ‘Amr Ath Thalamankiy (w. 429 H), dan tetap banyak lagi seperti Aqidah Thahawiyyah karya Abu Ja’far Ahmad Ath Thahawi (w. 321 H) dan Aqidah Wasithiyyah karya Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah (w. 728 H).
3. Pembukuan Ilmu Tajwid
Jika ditinjau dari segi amaliyyah (praktek), maka peletak dasar pengetahuan tajwid adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam nan Beliau terima dari malaikat Jibril dari Allah Azza wa Jalla, lampau para sahabat radhiyallahu anhum menerimanya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan para tabi’in menerimanya dari para sahabat, dan begitulah seterusnya sampai ke hadapan kita secara mutawatir dengan tajwid pada setiap zaman.
Sedangkan secara teori, ialah nan menyusun kaedah-kaedah dan dasar-dasarnya serta menyusun beragam norma dan masalahnya, maka ada khilaf di kalangan ulama. Ada yang berpendapat, bahwa nan menyusunnya adalah Al Khalil bin Ahmad Al Farahidiy. Ada pula nan mengatakan Abu Aswad Ad Du’ally, dan ada pula yang mengatakan Hafsh bin Umar Ad Duriy. nan lain lagi mengatakan, apalagi yang menyusunnya adalah para pemimpin qiraat. (http://www.alukah.net/sharia/0/65297/)
Menurut penyusun Fathu Dzil Jalal Syarah Tuhfatil Athfal hal. 12, bahwa orang nan pertama menyusun ilmu tajwid dalam corak nazham (syair) adalah Abul Muzahim Musa bin Ubaidillah Al Khaqani (w. 325 H), sedangkan nan menyusunnya dalam corak matan biasa adalah Abu Ubaid Al Qasim bin Sallam (w. 224 H).
4. Pembukuan Hadits
Orang yang pertama menyuruh untuk mengumpulkan dan membukukannya adalah Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H); dia mengirim surat kepada Abu Bakar bin Hazm –gubernurnya terhadap kota Madinah- , Umar menulis, “Lihatlah nan termasuk hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kemudian catatlah, lantaran saya khawatir ilmu bakal lenyap dan ustadz bakal wafat.” Akan tetapi dia bukan yang membukukan hadits dan atsar nan ada di Madinah, apalagi nan melakukannya adalah Ibnu Syihab Az Zuhri (w. 123 H atau 124 H) nan ketika itu semasa dengan Umar bin Abdul ‘Aziz. Ketika itu Umar menyuruh orang-orang dekatnya untuk mendatanginya; lantaran tidak ada orang yang paling mengerti Sunnah ketika itu daripada Az Zuhri, maka beliau mengumpulkan semua nan didengarnya berupa semua hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan pendapat para sahabat, hanyasaja belum dibuat bab seperti dalam berbagai kitab ilmu. Dengan demikian, Az Zuhri adalah orang pertama nan membukukan Sunnah Rasullullah shallallahu alaihi wa sallam. Selanjutnya pembukuan dilakukan oleh generasi berikutnya,, seperti nan dilakukan di Mekkah oleh Ibnu Juraij (w. 149 alias 150 H) dan Ibnu Ishaq (w. 150 H), nan dilakukan di Madinah oleh Sa’id bin Abi ‘Arubah (w. 156 H alias 157 H), Ar Rabi’ dan Imam Malik (w. 93 H), nan dilakukan di Basrah oleh Hammad bin Salamah (w. 167 H), nan dilakukan di Kufah oleh Sufyan bin Sa’id Ats Tsauriy (w. 161 H), nan dilakukan di Syam oleh Al Abdurrahman Auza’iy (w. 157 H), dan seterusnya. Kemudian pada abad ketiga hijriah ditulislah kitab-kitab Musnad (yang menyebut nama para sahabat lampau hadits-haditsnya) seperti Musnad Ahmad (w. 241 H) dan Musnad Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), selanjutnya kitab-kitab shahih seperti Shahih Bukhari (w. 256 H) dan Shahih Muslim (w. 261 H), lampau ditulis kitab-kitab Sunan (hadits-hadits nan disebutkan sesuai bab fiqih) seperti Sunan Abi Dawud (w. 275 H), Sunan Nasa’i (w. 303 H), Sunan Tirmidzi (w. 279 H), dan Sunan Ibni Majah (w. 273 H).
5. Pembukuan kitab Fikih
Orang yang pertama membukukan kitab fikih adalah Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit At Taimiy rahimahullah (w. 150 H). Di antara siswa beliau nan terkenal adalah Abu Yusuf dan Muhammad bin Al Hasan rahimahumallah. Abu Hanifah sempat memandang Anas bin Malik.
Imam Syafi’i berkata tentang Abu Hanifah, “Manusia telah ditanggung fiqihnya oleh Abu Hanifah.”
Di antara kitab nan masyhur nan disandarkan kepada beliau adalah Al Fiqhul Akbar dan Al Musnad, wallahu a’lam.
Kemudian ada Imam Malik (w. 179 H) dalam Al Muwaththa, Imam Syafi’i (w. 204 H) dalam Al Umm, dan Imam Ahmad (w. 241 H) pemilik kitab Musnad. Mereka dikenal dengan Imam madzhab nan empat.
Selain pemimpin madzhab yang empat, ada pula madzhab-madzhab (pemahaman-pemahaman) fiqih dari nan lain seperti: (a) madzhab Al Auza’iyyah (dinisbatkan kepada Abdurrahman bin Amr Abu Amr Al Auza’i; pemimpin negeri Syam dalam bagian fiqih dan hadits, termasuk tabi’in besar nan wafat pada tahun 157 H di Beirut), (b) madzhab Ats Tsauriyyah (dinisbatkan kepada Sufyan bin Sa’id bin Masruq Ats Tsauriy, seorang yang hafizh, mahir fiqh dan mahir ibadah, wafat pada tahun 161 H). (c) madzhab Ad Dawudiyyah/Azh Zhahiriyyah (dinisbatkan kepada Dawud bin Ali Abu Sulaiman Al Ashbahani Al Baghdadi, nan wafat pada tahun 270 H). Di sana ada juga madzhab Al Laits bin Sa’ad (w. 175 H), Al Hasan Al Bashri (w. 110 H), Sufyan bin Uyaynah (w. 198 H), Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Abu Tsaur (w. 148 H), Asy Sya’biy (w. 105 H), Sulaiman bin Mihran Al A’masy (w. 147/148 H) dan Ibnu Jarir Ath Thabari (w. 310 H) rahimahumullah.
Sebab tersebarnya madzhab nan empat dan tetap memperkuat adalah lantaran Allah telah menetapkan untuk para pemimpin nan empat ini para pengikutnya nan membawa pengetahuan mereka ke generasi setelah dan seterusnya.
Empat madzhab tersebut dan madzhab-madzhab lainnya nan telah disebutkan adalah madzhab-madzhab Ahlussunnah wal Jamah; diterima oleh umat ini secara keseluruhan; baik ulamanya, para penuntut ilmunya, maupun kalangan awam. Madzhab-madzhab tesebut adalah madzhab-madzhab ijtihad terhadap masalah syariah nan sifatnya furu (cabang) nan sejalan secara garis besar dengan dasar-dasar syariat.
6. Pembukuan kitab Tafsir
Pembukuan kitab tafsir telah dimulai di akhir-akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal-awal pemerintahan Bani Abbasiyyah.
Ada beberapa tahap dalam pembukuannya, yaitu:
Fase pertama, pengumpulan tafsir di dalam kitab-kitab hadits. Di antara mereka nan melakukannya adalah Yazid bin Harun (w. 206 H), Waki’ bin Jarrah (w. 196 alias 197 H), Sufyan bin Uyaynah (w. 198 H), dan lainnya.
Fase kedua, menulis kitab tafsir secara terpisah. Hal ini seperti yang dilakukan olehh Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu Jarir Ath Thabari (w. 310 H), Ibnul Mundzir (319 H), Ibnu Abi Hatim (w. 327 H), dan lainnya. Sebagian kitab ada nan tidak sampai kepada kita. Oleh lantaran itu, sebagian ustadz berpendapat bahwa Imam Ath Thabari adalah Syaikhul Mufassirin (imam para ahli tafsir), lantaran kitab beliau nan sampai kepada kita secara lengkap. Kelebihan fase ini adalah menyebut pula sanad-sanadnya.
Fase ketiga, pembukuan tafsir bir ra’yi alias tafsir bil ma’tsur namun dengan diringkas sanadnya. Di antaranya adalah Al Kasysyaf karya Az Zamakhsyari (w. 538 H), namun perlu diketahui bahwa dalam tafsir ini memuat hadits dhaif dan maudhu (palsu) serta pendapat kaum Mu’tazilah dan orang-orang yang menyimpang.
Manhaj (Metodologi) Sebagian Mufassir
a. Mereka nan bersandar kepada hadits dan atsar (riwayat dari para sahabat), seperti Abdurrazzaq bin Hammam (w. 211 H), Abd bin Humaid (w. 249 H), Abu Ja’far Ath Thabari (w. 310 H), Abu Bakar bin Al Mundzir (w. 318 H), Abu Muhammad bin Abi Hatim (w. 327 H), Abu Bakar Ahmad bin Musa bin Mardawaih (w. 410 H), Abdurrahman bin Ali bin Al Jauziy (w. 597 H), dan Ismail bin Katsir Ad Dimasyqi (w. 774 H).
b. Mereka nan bersandar kepada hadits, atsar, buletin orang-orang terdahulu, dan kisah-kisah Israiliyyat (dari Bani Israil), seperti Ahmad bin Muhammad Ats Tsa’labi (w. 427 H)[i] dan muridnya Ali bin Ahmad Al Wahidiy dalam tafsirnya Al Basith yang belum dicetak, sedangkan nan telah dicetak adalah Al Wasith yang isinya lebih ringkas, dan Husain bin Mas’ud Al Baghawi (w. 516 H) [ii].
c. Mereka nan bersandar kepada fiqih, hadits, dan pengetahuan syar’i lainnya, seperti Muhammad bin Ahmad Al Qurthubiy Al Maliki (w. 671 H) dalam kitabnya Al Jami Li Ahkamil Qur’an.
d. Mereka nan bersandar kepada bahasa dan Nahwu, seperti Mahmud bin Umar Az Zamakhsyari (w. 538 H) dalam kitabnya Al Kasysyaf, demikian pula Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf Al Andalusiy (w. 745 H) dalam kitabnya Al Bahrul Muhith.
e. Mereka nan bersandar kepada munasabah (hubungan) ayat dan surat, seperti Burhanuddin Ibrahim bin Umar Al Baqa’iy (w. 885 H) dalam kitabnya Nazhmud Durar.
f. Mereka nan memadukan antara riwayat dan dirayah (ra’yu), seperti Muhammad bin Ali Asy Syaukani (w. 1250 H).
g. Mereka nan bersandar kepada mantiq, filsafat, menghadirkan syubhat dan pandangan ustadz dari kalangan Ahlussunnah maupun Ahli Bid’ah, seperti Fakhruddin Muhammad bin Abu Bakar Ar Raziy (w. 666 H) dalam kitabnya Mafatihul Ghaib.
h. Mereka nan bersandar kepada pokok madzhabnya, seperti madzhab Mu’tazilah. Misalnya adalah tafsir Abdurrahman bin Kaisan Al Asham, Abu Ali Al Jubba’iy, At Tafsir Al Kabir karya Al Qadhiy Abdul Jabbar bin Ahmad Al Hamdzani, Al Jami Li Ilmil Qur’an karya Ali bin Isa Ar Rummani, dan Al Kasysyaf karya Az Zamakhsyari.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Secara garis besar, bahwa peralatan siapa yang menyimpang dari madzhab para sahabat dan tabiin dan tafsir mereka kepada yang menyalahinya, maka dia telah keliru dalam perihal itu, apalagi sebagai pelaku bid’ah. Meskipun jika sebagai mujtahid maka bakal diampuni kekeliruannya.”
Uslub (metode penulisan) tafsir ada beberapa macamnya, di antaranya: tafsir Tahlili (menganalisa kata-perkata), tafsir Ijmali (secara garis besar), tafsir Muqaran (membandingkan antara pendapat para mufassir kemudian mencari nan lebih rajih/kuat), dan tafsir Maudhu’i (tematik).
7. Pembukuan Ilmu Ushul Fikih
Ada yang berpendapat, bahwa orang pertama nan menulis pengetahuan Ushul Fiqh dan menyusun kaeda-kaedah pentingnya adalah Abu Yusuf dan Muhammad bin Al Hasan siswa dari Imam Abu Hanifah, namun kitab mereka berdua tidak sampai kepada kita.
Ada pula yang berpendapat, bahwa nan pertama menulis adalah Abu Yusuf saja.
Ada pula yang berpendapat, bahwa nan menulis pertama kali adalah Abu Hanifah dalam kitab yang beliau beri nama Ar Ra’yu. Akan tetapi kitab ini tidak sampai kepada kita.
Namun yang masyhur dan ada kitabnya adalah bahwa orang nan pertama menulis pengetahuan Ushul Fiqih secara tersendiri adalah Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya yang masyhur ialah Ar Risalah. Hal ini telah dinyatakan oleh banyak ulama seperti Ibnu Khaliqan dan Ibnu Khaldun, wallahu a’lam.
Pada abad ke-5 dan ke-6 H banyak tulisan-tulisan berkenaan Ushul Fiqh, di antaranya: Al Umdah karya Al Qadhi Abdul Jabbar (w. 415 H), Al ‘Uddah karya Al Qadhi Abu Ya’la (w. 458 H), Al Mu’tamad karya Abul Husain Al Bashri (w. 463 H), Al Luma’ dan At Tabshirah keduanya karya Abu Ishaq Asy Syirazi (w. 476 H), Ushul Al Bazdawi (w. 482 H), Ushul As Sarkhasiy (w. 483 H), Al Isyarah dan Ihkamul Fushul keduanya karya Abul Walid Al Baji (w. 493 H), Al Mustashfa, Al Mankhul dan Syifa’ul Ghalil ketiganya karya Al Ghazaliy (w. 505 H), At Tamhid karya Al Kaludzaniy (w. 511 H), Al Wadhih karya Ibnu ‘Aqil (w. 532 H), dll.
8. Pembukuan Ilmu Musthalah Hadits
Dasar-dasar ilmu riwayat dan penukilan buletin telah ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai orang-orang nan beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar Anda tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya nan menyebabkan Anda menyesal atas perbuatanmu itu.” (Qs. Al Hujurat: 6)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا، فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ»
“Semoga Allah memberikan sinar nan cemerlang kepada wajah seseorang nan mendengar hadits dari kami, lampau dia menghafalnya sampai menyampaikannya. Betapa banyak orang yang membawa fiqih (ilmu) memberikan kepada orang nan lebih faham lagi, dan betapa banyak orang nan membawa fiqih (ilmu) namun tidak faqih.” (Hr. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Ayat dan hadits di atas menunjukkan agar seseorang berhati-hati dalam menerima berita dan menyampaikannya. Oleh lantaran itu, para sahabat berhati-hati dalam menyampaikan berita dan menerimanya terutama ketika mereka meragukan kejujuran rawi, sehingga muncullah pembahasan sanad dan urgensinya dalam menerima buletin dan menolaknya. Ibnu Sirin berkata, “Dahulu mereka tidak menanyakan isnad, namun ketika terjadi tuduhan (perselisihan), mereka pun berkata, “Sebutkan kepada kami rawi-rawi kamu, lampau diperhatikan; jika termasuk Ahlussunnah maka diambil haditsnya, tetapi jika termasuk Ahli Bid’ah maka tidak diambil haditsnya.”
Oleh karena khabar (berita) tidak begitu saja diterima selain setelah mengetahui sanadnya, maka muncullah pengetahuan Jarh wa Ta’dil, pengetahuan mengetahui sanad nan bersambung dan terputus, pembahasan ilalul hadits, dan pembicaraan terhadap sebagian rawi namun tetap sedikit lantaran sedikitnya orang-orang nan abnormal ketika itu. Kemudian ilmu-ilmu ini diriwayatkan secara lisan seperti mengenai bagaimana menerima hadits dan menyampaikannya, nasikh dan mansukhnya, gharibnya dan sebagainya. Lalu ilmu-ilmu ini ditulis namun tetap bercampur dengan ilmu-ilmu lainnya seperti pengetahuan Ushul Fiqh, pengetahuan Fiqh, dan kitab hadits sebagaimana Imam Syafi’i menulis Ushul (dasar-dasar) Ilmu Musthalah Hadits dalam kitabnya Ar Risalah dan Al Umm, lampau diikuti oleh Imam Bukhari, Muslim dan lainnya dalam kitab-kitab mereka namun tetap bercampur dengan pembahasan nan lain. Kemudian ditulis secara terpisah pada abad ke-4 H oleh Arraamahurmuziy (w. 360 H) dalam kitabnya Al Muhadditsul Faashil bainar Raawi wal Marwiy, setelah itu ditulis buku-buku Musthalah Hadits secara terpisah seperti Ma’rifatu Ulumil hadits karya Al Hakim (w. 405 H), Al Mustakhraj ‘ala Ma’rifati Ulumil Hadits karya Abu Nu’aim Al Ashbahaniy (w. 430 H), Al Kifayah Fii Ilmir Riwayah dan Al Jami Li Akhlaqir raawi wa Aadabis Saami keduanya karya Al Khathhib Al Baghdadi (w. 463 H), Al Ilma ‘ala Ma’rifati Ushulir Riwayah wa Taqyidis Sama karya Al Qadhi Iyadh (w. 544 H), Maa Laa Yasa’ul Muhaddits Jahluhu karya Abu Hafsh Al Miyanji (w. 580 H), Ulmuul Hadits alias Muqaddimah Ibni Shalah (w. 643 H), Nuhkbatul Fikar karya Ibnu Hajar Al Asqalani (w. 852 H), Tadribur Raawi karya As Suyuthi (w. 911 H), dll.
9. Pembukuan Ilmu Nahwu
Di antara kisah nan paling masyhur ditulisnya pengetahuan Nahwu adalah kisah Abul Aswad Ad Du’aliiy ketika dia melewati seorang nan membaca firman Allah Ta’ala,
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ
“Dan (inilah) suatu pengumuman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.” (Qs. At Taubah: 3)
Orang itu mengkasrahkan huruf lam pada kata ‘ وَرَسُولُهُ ’ nan kedua sehingga nan seharusnya artinya ‘bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin’ menjadi ‘bahwa sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrikin dan dari rasul-Nya’ yang membuat makna jadi berubah.
Maka Abul Aswad Ad Du’alliy mendatangi Ali bin Abi Thalib dan menyampaikan bahwa Bahasa Arab berada dalam ancaman dan kudu segera dijaga oleh pemerintah, maka Ali segera menulis surat nan isinya, “Bismillahirrahmaanirrahim. Kalam itu ada tiga; isim (kata benda), fi’il (kata kerja), dan harf (kata sambung/k. depan). Ism adalah buletin terhadap nan disebutkan, fi’il adalah buletin tentang gerakan yang disebutkan, sedangkan harf adalah apa nan diberitakan juga namun bukan ism dan fi’il,” lampau dia berbicara kepada Abul Aswad,
انْحُ هَذَا النَّحْو
“Ikutilah jalan ini.”
Maka dari sinilah disebut pengetahuan Nahwu.
Dengan demikian, lahn (salah baca) inilah penyebab ditulisnya pengetahuan Nahwu setelah Islam tersebar di beragam penjuru dunia.
Lalu siapa yang pertama menulis pengetahuan Nahwu?
Semua riwayat sepakat bahwa peletak pertama pengetahuan Nahwu adalah Abul Aswad Ad Du’alliy, beliau juga nan pertama memberikan titik dan harakat pada ayat Al Qur’an untuk menghindari kesalahan membaca. Ketika itu, dia memberi titik dengan warna berbeda dengan warna tulisan mushaf Al Qur’an, jika fathah diletakkan titik itu di atas huruf, jika kasrah diletakkan di bawah huruf, dan jika dhammah diletakkan di kiri huruf, dan membikin titik dua di atas huruf, alias bawahnya, alias sebelah kirinya untuk menunjukkan dibaca tanwin. Sedangkan untuk sukun dia biarkan tanpa tiitik.
Dengan demikian, Abul Aswad Ad Du’alliy adalah orang nan pertama memberi titik dan harakat pada mushaf dan nan pertama menulis pengetahuan Nahwu.
Ada pula yang berpendapat bahwa nan pertama menulisnya adalah Al Khalil bin Ahmad Al Farahidiy. nan lain berpendapat, bahwa nan pertama menulisnya adalah Ali bin Abi Thalib, dan ada pula nan beranggapan bahwa nan pertama menulisnya adalah Sibawaih, wallahu a’lam. (Lihat: https://www.twinkl.co.id/teaching-wiki/lm-alnhw )
10. Pembukuan Ilmu Sirah Nabawiyyah (sejarah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam)
Sumber rujukan sirah Nabawiyyah adalah Al Qur’an, As Sunnah alias kitab-kitab hadits, kitab-kitab sirah Nabawiyyah, kitab-kitab tarikh, dan syair Arab.
Penulisan Sirah Nabawiyyah telah dimulai oleh beberapa sahabat dan tabiin, di antaranya adalah ulama umat ini ‘Abdullah bin Abbas’ radhiyallahu anhuma.
Lalu dilanjutkan oleh Aban bin Utsman, Urwah bin Az Zubair bin Awam, Abdullah bin Abi Bakar Al Anshari, Muhammad bin Muslim bin Syihab Az Zuhri (penulis hadits di masa Umar bin Abdul Aziz), dll.
Orang-orang yang lebih tahu tentang sejarah alias peperangan adalah masyarakat Madinah, lalu penduduk Syam, kemudian masyarakat Irak. Penduduk Madinah lebih tahu, karena sejarah terjadi di tengah-tengah mereka, sedangkan masyarakat Syam adalah orang-orang yang biasa terjun bertempur dan berjihad.
Selanjutnya penulisan secara tersendiri oleh generasi setelah mereka, di antaranya adalah Musa bin Uqbah Al Madaniy (w. 141 H) dalam kitabnya Al Maghaziy, Abul Mu’tamir Sulaiman bin Tharkhan Al Bashri (w. 143 H) dalam kitabnya As Sirah Ash Shahihah, kemudian ditulis pula secara tersendiri oleh:
a. Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Yasar Al Muththalibiy (w. 151 H),
Ia belajar kepada Al Qasim bin Muhmmad bin Abi Bakr dan Aban bin Utsman bin Affan, melakukan perjalanan ke Mesir, Irak, Syam, dan lainnya. Ia menulis kitab Maghaziy ibn Ishaq nan telah dibaca murid-muridnya terutama Syaikh Al Bakka’iy yang merupakan pembimbing Ibnu Hisyam.
Shalahuddin Ash Shafdiy (w. 764 H) berkata, “Orang nan pertemu menulis tentang maghaziy (sejarah perang) adalah Urwah bin Az Zubair, lampau Musa bin Uqbah, kemudian Abdullah bin Wahb. Selanjutnya tentang sirah nan pertama menulisnya adalah Ibnu Ishaq.” (Al Wafiy fil Wafayat 1/3)
b. Muhammad bin Umar bin Waqid (w. 307 alias 309 H)
Dia adalah orang alim kedua setelah Ibnu Ishaq tentang sejarah perang dan tarikh (tanggal, bulan atau tahun kejadian). Bukunya menjadi pegangan para sejarawan setelahnya. Kitab sirah Muhammad bin Umar bin Waqid ini berjudul Al Maghaziy.
b. Abu Muhammad Abdul Malik bin Ayyub Al Mu’afiriy Al Humairiy (w. 218 H) nan dikenal dengan nama Ibnu Hisyam.
Ibnu Hisyam banyak menekuni kitab karya Ibnu Ishaq nan diriwayatkan dari gurunya Al Bakka’iy. Bukunya terkenal dengan nama ‘Sirah ibn Hisyam’.
Ada pula ustadz lainnya yang menulis sejarah, seperti Thabaqat Ibn Sa’ad, dimana 5 jilid daripadanya ia khususkan tentang Sirah.
Selanjutnya para ulama menulis sirah hingga sekarang, di antaranya: Nurul Yaqin Fii Sirati Sayyidil Mursalin karya Syaikh Muhammad Al Khudhari Bek, Ar Rahiqul Makhtum karya Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfuriy, Shahih Sirah Nabawiyyah karya Syaikh Akram Dhiya Al Umariy, dll.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam walhamdulillahi Rabbil ‘aalamin.
Marwan bin Musa
(Dosen Daarul Qur’an wa Sunnah)
Maraji’: Maktabah Syamilah (beberapa versi), Al Mu’taqad Ash Shahih (Syaikh Abdussalam bin Barjas Al ‘Abdul Karim), Ushul Fit Tafsir (M. bin Shalih Al Utsamin), Mukadimah Minnaturrahman (Marwan Hadidi), At Tajwid Al Mushawwar (Dr. Aiman Rusydi Suwaid), Mabahits Fii Ilmit Tajwid (Marwan Hadidi), Mushthalahul Hadits Al Muyassar (Dr. Imad Ali Jum’ah), Ushulul Fiqh Al Muyassar (Dr. Imad Ali Jum’ah), As Sirah An Nabawiyyah SMA kelas 1, Yaman, kementrian pendidikan), https://www.alukah.net/sharia/0/65984/%D9%84%D9%85%D8%AD%D8%A9-%D9%85%D9%88%D8%AC%D8%B2%D8%A9-%D8%B9%D9%86-%D8%AA%D8%A7%D8%B1%D9%8A%D8%AE-%D8%A7%D9%84%D8%AA%D8%AC%D9%88%D9%8A%D8%AF/#ixzz8nC2sdSjV , https://mawdoo3.com/%D8%A3%D9%88%D9%84_%D9%85%D9%86_%D8%AF%D9%88%D9%91%D9%86_%D8%A7%D9%84%D9%81%D9%82%D9%87 , https://www.twinkl.com/teaching-wiki/lm-alnhw
[i] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Muqaddimah Tafsir mengomentari Ats Tsa’labi dengan mengatakan, “Ats Tsa’labi pada dirinya terdapat kebaikan dan agama, bakal tetapi beliau seperti pencari kayu bakar (tidak bisa memilah dan memilih), dia menukil apa nan ada dalam kitab-kitab tafsir baik nan shahih, dha’if, apalagi nan maudhu (palsu).”
[ii] Tentang Al Wahidiy dan Al Baghawiy Ibnu Taimiyah mengomentari keduanya dengan mengatakan, “Al Wahidiy lebih mengerti bahasa Arab daripada Ats Tsa’labiy. Sedangkan tafsir Al Baghawiy adalah ringkasan dari Ats Tsa’labiy, bakal tetapi beliau menjaga tafsirnya dari hadits-hadits tiruan dan pendapat-pendapat bid’ah.”